SEJARAH ST12


ST 12 adalah grup band Indonesia yang didirikan di Bandung, Jawa Barat tahun 2005. Grup ini didirikan oleh Ilham Febry alias Pepep (drum), Dedy Sudrajat alias Pepeng (Gitar), Muhammad Charly van Houten alias Charly (vokalis), dan Iman Rush (gitaris). Nama ST 12 sendiri merupakan kependekan dari Jl. Stasiun Timur No. 12 yang merupakan markas berkumpulnya band ini. Sampai saat ini ST 12 telah menelurkan 2 album musik.

Secara resmi ST12 berdiri pada tanggal 20 Januari 2005, meski anggotanya telah lama berkecimpung di dunia musik. Sebelumnya, keempat personel ini tak saling kenal. Mereka sering bertemu di studio rental di Jalan Stasiun Timur 12, Bandung, milik Pepep. Nama ST12 yang merupakan kependekan dari Jl. Stasiun Timur No. 12 adalah nama pemberian ayah Pepep, Helmi Aziz. Mereka juga berkompromi dengan mengambil aliran Melayu, walau Charly menggemari jazz, Pepep suka jazz dan rock, sementara Pepeng tumbuh bersama musik rock. Sulitnya mendapat label rekaman yang mau menerima mereka, ST 12 akhirnya menempuh jalur indie (independent). Album perdana, Jalan Terbaik pun dirilis. Sayang, saat tur promosi album tersebut di Semarang, Iman Rush meninggal akibat pecah pembuluh darah di otak pada bulan Oktober 2005.[1]

Kesuksesan album perdana ST12 membuat mereka dilirik Trinity Optima Production. ST12 pun merilis album kedua P.U.S.P.A (2008) yang didedikasikan untuk Iman.[2]

ST12 yang merupakan pelopor band melayu di Indonesia tak dapat dipandang sebelah mata. Dalam ajang AMI Awards 2009, band ini mendapatkan enam nominasi, di antaranya yaitu duo/kolaborasi/grup terbaik, penata musik terbaik, pendatang baru terbaik dari yang terbaik, album terbaik dari yang terbaik, karya produksi terbaik dari yang terbaik.
Berkat album kedua yang bertajuk Puspa, nama band asal Bandung ST 12 kian melambung. Jadwal manggung pun semakin padat. Band yang motori oleh Muhammad Charly van Houten, Iman Rush dan Dedy Sudrajat kian disibukkan dengan berbagai hal yang mengharuskan mereka untuk selalu tampil fit.

                   ST 12 hanyalah satu dari banyak band yang menawarkan nada-nada minor khas pop Melayu, seperti di lagu dari album pertama mereka, Jalan Terbaik, antara lain “Aku Masih Sayang”, “Jalan Terbaik”, dan “Rasa yang Tertinggal”.
ini, nada-nada pop minor itu dipertegas dalam album kedua mereka, P.U.S.P.A., yang diambil dari judul lagu single pertama mereka.
Bukan karena tidak ingin bereksplorasi lebih jauh lagi, Charly (vokal), Pepep (drum), dan Pepeng (gitar) ini telah mantap memilih jalur musik itu untuk ditawarkan kepada pendengar musik Indonesia, meskipun kini mereka bertiga. Gitaris mereka, Iman Rush, meninggal dunia di awal penggarapan album kedua ini.
Itu bukan lantaran mereka penggemar dangdut, seperti yang diakui Pepep di sela-sela peluncuran album kedua band asal Bandung ini di Kafe Pisa, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (3/7). Tapi lebih kepada hasil analisis mereka terhadap industri musik Indonesia saat ini.
“Kami menyadari bahwa kami berada di musik industri. Bagaimana mau masuk industri kalau musik kami tidak bisa dijual,” ujar Pepep. Secara bermusik, ST 12 memiliki selera berbeda. Charly, misalnya, cenderung pada jazz, Pepep pun jazz, meskipun ia pun menyukai rock. Sementara Pepeng besar dengan musik rock.
Pilihan pop Melayu ini berdasarkan sebuah riset atas band-band sukses di Indonesia. Pepep menilai, kesuksesan Peterpan, Sheila on 7, atau bahkan Dewa 19 terletak pada pilihan nada-nada minor khas pop Melayu itu. Dhani, ketika menerima penghargaan untuk band sampingannya, The Rock, untuk lagu “Munajat Cinta” juga sedikit heran melihat reaksi masyarakat terhadap lagu yang menurutnya paling gampang itu. Dan untuk sukses di musik industri, musik-musik seperti itulah yang akan ia buat.
Paling nyata adalah Kangen Band yang meskipun dinista, tetap laris karena musik mereka mudah dicerna.
“Yah, kalau kami buat pop standar, sudah ada Ungu, mau buat dengan syair yang indah-indah sudah ada Dewa, dengan gaya cuek-cuekan sudah ada Slank. Kami benar-benar bekerja keras untuk mencari pop Melayu ini,” kata Pepep.
ST 12 sendiri sudah menjajalnya di album pertama yang menurut produser Trinity Optima Production, Rizki Utami, terjual sampai dengan 400.000 keping dalam bentuk fisik, dan ring back tone (RBT) yang jauh lebih banyak lagi.
Ada satu cara lagi menilai diterima atau tidaknya musik mereka di pasar, terutama pasar menengah ke bawah seperti segmen ST 12, yaitu melalui pengamen jalanan. Nada-nada minor berulang dapat diterima dengan mudah oleh para pengamen, bahkan pengamen cilik sekali pun. Itu sebabnya, sebelum melepas fisik album ke pasaran, ST 12 terlebih dahulu mengaudisi para pengamen untuk turut serta dalam peluncuran album ini, Jumat (4/7), di layar SCTV.
Lugas
Tidak perlu bersusah-susah memaknai syair lagu buatan Charly. Ciri khas musik mereka bukan hanya pada nada-nada itu, tapi juga lirik. Charly yang paling banyak membuat lagu di album ini, memilih berkata secara lugas, yang disebutnya dengan gaya curhat. Tengok saja single perdana mereka, P.U.S.P.A. (Putuskan saja Pacarmu), yang sudah beredar di pasaran jauh-jauh hari sebelum albumnya ada.
“Ini bahasa keseharian banget. Cowok kalau ngeliat cewek cantik, cewek itu pasti udah ada cowoknya, kayaknya gregetan. Jadi, putuskan saja pacarmu,” kata Charly yang memiliki penampilan khas dengan anting-anting di kedua telinganya.
Sukses, paduan nada minor dan lirik lugas itu menjadi nomor satu di deretan penjualan nada sambung pribadi Telkomsel dan nomor dua di Indosat. Untuk album, Rizki Utami belum dapat melacaknya karena baru dilepas ke toko kaset pada hari peluncuran itu. Namun, jangan kaget jika secara bebas P.U.S.P.A sudah ada di jalanan. Kerja para pembajak jauh lebih cepat dibandingkan strategi pasar label.
Usai sukses dengan penjualan album dan RBT di Indonesia, Rizki Utami mengatakan akan memasarkan album ini ke negara-negara berbahasa Melayu, Malaysia, Singapura, dan Brunei Darussalam

Komentar

Postingan populer dari blog ini

hidrokarbon lengkap